Smart & Religious
Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Sabtu, 09 Mei 2015

Membangun Potensi dan Motivasi Santri

Mewujudkan Generasi Muda Yang Berakhlakulkarimah





Di sebagian sekolah kecenderungan seseorang anak “dihargai” bukan berdasarkan bakat dan potensinya (ekstrakurikuler) tapi lebih kepada nilai akademisnya (kurikuler). Kemampuan ekstrakurikuler dianggap sebagai kemampuan kelas dua. Padahal di panggung kehidupan sebenarnya banyak orang yang sukses bukan bersandarkan pada nilai akademis semata tapi pada pengembangan bakat dan potensi yang dimilikinya.
Jika kita lihat benang merah dari pengangguran terdidik di Negara kita berawal dari ketika masa kecil, beranjak remaja dan kemudian dewasa. Semenjak sekolah kita menemukan permasalahan-permasalahan yang hari ini dialami oleh santri/siswa kita. Banyak di antara santri/siswa kita yang kehilangan orientasi sekolah. Mereka merasa bahwa orang tua yang memaksa mereka untuk sekolah sehingga tidak menjadi kebutuhan baginya.
Mereka belum memahami apa urgensi belajar dan menuntut ilmu. Mereka tidak dibimbing untuk memiliki impian dan cita-cita hidup, akibatnya mereka tidak punya rencana hidup serta tidak punya manajemen diri dan waktu.
Terlebih dengan pola pengajaran konvensional, siswa cendrung menjadi objek dan robot. Pembelajaran menjadi kaku, karena mereka mesti diam, tangan dilipat di atas meja dan dilarang banyak bertanya. Media pembelajaran masih menggunakan papan tulis dan kapur/spidol. Sehingga mengabaikan modalitas visual, auditorial dan kinestetik dari siswa. Pembelajaran menjadi tidak menyenangkan. Padahal otak akan optimal bekerja ketika pembelajaran itu kreatif, aktif, dan menyenangkan.
Akibatnya mereka menjadi malas belajar, malas sekolah, sering bertindak nakal dan diluar batas seperti bolos, tawuran, mencontek, pergaulan bebas, narkoba, menghabiskan waktu di warnet, main games dan sebagainya.Bisa jadi itu bentuk sebagai pelampiasannya karena kejenuhan atau keterpaksaan belajar. Karena mereka beranggapan orang tua dan guru memaksa mereka untuk sekolah, padahal mereka lebih senang bermain. Lalu kenapa sekolah tidak kita jadikan “ajang permainan”. Maksudnya belajar sambil bermain. Hal itu tentu sangat terkait dengan kemampuan dan kreativitas guru sendiri bagaimana cara mengajar yang efektif, kreatif dan menyenangkan.

Tidak ada komentar: